RSS

Selasa, 23 Februari 2010

Find The Way -- Chapter 2

ini chapter 2 nya!
masih belum seru, sih.. masih pemanasan. tapi semoga menghibur ya!

selamat membaca! ^^,

--
"Find The Way -- Chapter 2"


Jika kesedihan ibarat kerikil, maka akan kulemparkan itu jauh- jauh agar tak mengganggumu. Jika kesakitan ibarat batu, sungguh akan kuhancurkan itu agar tak menjamahmu. Cukup sekali saja kau menangis, biar selamanya bisa tersenyum bersamaku. Seperti saat awal, kita saling..

“bercerita”

--


Pluk!


“Aww!!”, terdengar suara orang kesakitan di balik semak- semak. Aini langsung panik mendengarnya. Jangan-jangan kerikil yang baru saja ia lemparkan mengenai orang yang berada di semak- semak.


“Aduh! Maaf.. saya nggak sengaja! Siapapun yang di sana, saya minta maaf!” teriak Aini.


Seseorang yang terkena lemparan kerikil Aini itu mengelus- elus kepalanya. Ia yang tadinya sedang duduk- duduk santai dengan gitarnya, segera berdiri, mendongak di atas semak- semak taman.


“..kakak ya, yang ngelempar ini?” Tanya orang itu sambil mengacungkan kerikil yang tadi dilempar Aini.


‘aduh gawat! Anak kecil, lagi, yang kena!’ batin Aini.


“..eng.. hehe.. iya.. maaf yaa..” jawab Aini agak gagap. Ia masih diam di atas kursi rodanya. Berharap penuh agar si anak yang terkena lemparannya tidak mengadu pada orangtuanya.


“kamu enggak apa- apa kan?” Tanya Aini mengecek.


Si anak menggeleng pelan, dan malah tersenyum. Setelah itu Aini agak kaget karena anak itu berjalan menghampiri dirinya.


“..maaf ya?” sekali lagi Aini meminta maaf.


Anak itu masih saja mengelus kepalanya. Terlihat bahwa ia meringis kesakitan, meskipun di wajahnya ada segaris senyuman riang khas anak- anak.


“kakak, kenapa kerikilnya dilempar? Untung Cuma kerikil, coba kalo yang Kakak lempar itu batu. Bisa benjol gede kepalaku! Hahaha..”


Aini tersenyum kecut. Anak ini.. kok malah ketawa, sih? Padahal kalo Aini yang jadi anak ini, dia bakal langsung misuh- misuh, ujung- ujungnya ngadu ke orangtuanya.


“kakak lagi kesel ya?” Tanyanya lagi. Kali ini ia duduk di bangku taman, di samping Aini. “atau lagi.. sedih?”


Aini menggaruk kepalanya. Lalu menghela nafas panjang. Ia nggak berniat menceritakan masalahnya pada bocah laki- laki di depannya. Dilihat dari postur dan wajahnya, mungkin anak itu berusia sekitar 11 atau 12 tahun. Mungkinkah akan mengerti jika Aini bercerita?


“..iyaa.. mungkin.. gitu..” ucap Aini dengan ragu.


bocah itu diam sambil berkedip polos. Memandang Aini dengan tatapan lugunya.


“sedih.. iya.. sedih.. hahaha. Apa ya?”


Aini berbicara tak jelas. ia diam sejenak, dan menghela nafas lagi. Ia merasa hidupnya sangat menyedihkan.


“mau cerita?” tawar anak itu.


Aini memandangi wajah si bocah dengan tatapan bingung. Cerita?


“cerita? Untuk apa?” tanyanya. Ia melihat si bocah dengan tatapan ragu.


Si bocah laki- laki dengan rambut jigrik itu tersenyum lebar. Tangannya sibuk membetulkan posisi gitar di tangannya.


“..enggak apa- apa sih. Tapi, siapa tau dengan bercerita, kesedihan Kakak bisa hilang. Eh, nggak deng! Mungkin Cuma.. sedikit berkurang?..”


Aini tertawa mendengarnya.


“kok ketawa sih, Kak? Ada yang lucu ya?” Tanya anak itu. Sebentuk ekspresi heran terlukis di wajahnya.


Aini berusaha menyudahi tawanya.


“..enggak kok, enggak. Tapi.. siapa yang ngajarin kamu ngomong begitu? Ayah kamu ya?..” tebak Aini.


Anak itu menggeleng.


“..ibu kamu?”


Lagi- lagi ia menggeleng, masih dengan senyuman. Senyuman yang terlihat begitu tulus dan polos.


“aku enggak punya Ayah sama Ibu, Kak!”


DEG!


Entahlah, Aini bahkan tidak tahu jawaban yang keluar dari mulut anak itu akan sebegitu mudahnya terlontar.


“maaf.. jadi kamu udah..” ucapan Aini tertahan. Rasanya terlalu kejam jika ia harus menyebut kata yatim- piatu pada anak itu. Ia bisa saja membuat anak itu sedih.


“enggak kok, Kak!” potong anak itu. Ia seperti bisa membaca apa yang dipikirkan Aini. “aku bukan yatim piatu!”


Alis Aini bertaut bingung.


“jadi?”


Bocah laki- laki itu meletakkan gitar di sampingnya, lalu mulai bercerita.


“..aku pernah punya Ayah sama Ibu. Sama seorang Kakak. Tapi.. sekarang aku enggak tau mereka dimana. Aku nggak pernah ketemu lagi sama mereka!..”


“..kok bisa?”


“emm.. yang aku inget, terakhir aku ketemu mereka itu.. waktu umur aku empat tahun.. setelah itu, aku diasuh sama Paman!” ujarnya riang. Seolah itu bukan suatu masalah baginya.


“paman?”


Si bocah mengangguk cepat.


“iya! Paman! Dia yang selama ini ngasuh aku.. meskipun aku nggak tinggal sama dia..”


“emangnya kamu tinggal sama siapa?”


“sama Mbak, dia yang dibayar Paman untuk merawat aku, karena, Paman bilang, Paman sibuk, takut nggak ada waktu buat ngurus aku..”


Aini manggut- manggut sambil membulatkan bibir. Ternyata bocah atraktif di hadapannya punya kisah hidup yang menarik. Dan sadar atau tidak, mood Aini sedikit terangkat mendengarnya.


“kamu nggak kangen sama mereka? ayah, Ibu, dan Kakak kamu?” Aini bertanya lagi. Ia sudah tidak begitu canggung berbicara dengan bocah yang baru saja dikenalnya ini.


Eh, apa belum kenal ya? Tahu namanya aja enggak..


“iya.. kangen banget, malah! Paman pernah bilang, kalo aku pasti bakal ketemu mereka lagi, asalkan aku mau nurut sama Paman..”


Aini tersenyum melihat bocah di depannya. Anak itu terlihat begitu bersemangat menjalani hidupnya.


“..Kak Zahra juga bilang, suatu hari nanti aku pasti akan ketemu Ayah, Ibu, dan Kakak. Syaratnya, aku nggak boleh sedih, dan harus selalu berdoa sama Tuhan!”


“kak Zahra? siapa dia?”


Si anak menepuk dahinya.


“oh iya yah. Aku belum bilang, ya? Kak Zahra itu keponakannya Paman.. dia udah aku anggap kayak Kakak aku sendiri..”


“ohh..” Aini membulatkan bibir. Dalam benaknya, ia membayangkan wajah orang- orang dalam cerita anak itu. Orang yang disebut Paman, Mbak, dan Kak Zahra.


“oya! Aku sama Kak Zahra punya satu lagu favorit. Dan aku selalu nyanyiin itu.. terutama kalo lagi sedih. Mau denger nggak, Kak?..”


Aini mengangguk. Segaris senyuman menghiasi wajah lelahnya.


Bocah laki- laki itu menempatkan jari- jarinya pada senar gitarnya. Petikan gitarnya perlahan terdengar. Disusul oleh suaranya yang ternyata sangat lembut dan menenangkan.


Engkau yang sedang patah hati
Menangislah dan jangan ragu ungkapkan
Betapa pedih hati yang tersakiti
Racun yang membunuhmu secara perlahan


Engkau yang saat ini pilu
Betapa menanggung beban kepedihan
Tumpahkan sakit itu dalam tangismu

Yang menusuk relung hati yang paling dalam


Sejenak Aini kembali mengingat artikel yang dibacanya di internet, kemarin malam.


-Jantung koroner merupakan salah satu penyakit pembunuh yang paling ditakuti di seluruh dunia. Biasanya penyakit ini dialami oleh orang berusia produktif dan menyerang secara mendadak hingga menimbulkan kematian.-


Kematian. Kata itulah yang mengganggunya. Bila penyakitnya ini pada akhirnya akan berujung pada kata itu, lalu apa gunanya pengobatan yang selama ini ia jalani?


Hanya diri sendiri
Yang tak mungkin orang lain akan mengerti
Di sini ku temani kau dalam tangismu
Bila air mata dapat cairkan hati
Kan ku cabut duri pedih dalam hatimu
Agar kulihat, senyum di tidurmu malam nanti
Anggaplah semua ini
Satu langkah dewasakan diri
Dan tak terpungkiri
Juga bagi...
--

“..lumpuh?..”

Mama memeluk Aini, mencoba menenangkannya yang sudah menangis terisak.

“..sementara.. hanya sementara, Sayang..”

“tapi Aini enggak bisa jalan, Ma.. apa harus pake kursi roda terus?..” Aini masih menangis, meratapi keadaannya.

“..kamu bisa terapi.. pasti kamu bisa jalan lagi..”

--

Di peluk nestapa tersapu derita
Seiring saat keringnya air mata
Tak mampu menahan pedih yang tak ada habisnya

Hanya diri sendiri
Yang tak mungkin orang lain akan mengerti
Di sini ku temani kau dalam tangismu
Bila air mata dapat cairkan hati
Kan ku cabut duri pedih dalam hatimu
Agar kulihat, senyum di tidurmu malam nanti
Anggaplah semua ini
Satu langkah dewasakan diri
Dan tak terpungkiri
Juga bagi..mu...

(last child- pedih)


Sesak di hati Aini meluap lagi. Airmatanya jatuh.

 
Yang tak mungkin orang lain akan mengerti

Benar. Memang hanya dirinya sendiri yang tahu betapa sakitnya mengetahui keadaan dirinya yang tak sebaik orang lain.

Tapi..

Aini justru tersenyum mendengar untaian kalimat yang dinyanyikan bocah itu. Sepertinya maknanya dapat begitu mengena di benak Aini.

“Kakak kok nangis?”

“hah?”

Rupanya dari tadi si anak sudah memperhatikan mata Aini yang basah. Ia menatap Aini dengan pandangan penuh tanya.

“eh.. eng.. enggak apa- apa kok. Hehe.. lagunya bagus..” ujar Aini. Tangannya langsung mengusap airmatanya yang masih tersisa.

Bocah laki- laki itu tersenyum riang.

“makasih ya, udah mau hibur Kakak. Sekarang Kakak udah nggak sedih deh..” lanjut Aini. ia lalu menarik nafas panjang, menghempaskan sisa- sisa kepenatannya agar terbawa angin.

Si bocah tertawa kecil.

“iya, sama- sama.. Kak.. Aini,” jawabnya. Ia sempat melirik nama Aini lewat gelang perak bertuliskan ‘Aini’ yang terpasang manis di tangan kanannya.

“eh iya, aku balik ke kamarku dulu ya, Kak!.. pasti Mbak nyariin! Dah Kakak!” ujar bocah itu. Tiga kalimat yang diucapkannya dengan cepat. Anak itu segera bangkit, membawa gitarnya, dan berlari pergi sebelum Aini sempat mengucapkan apapun.

“ehh tunggu! Nama kamu siapa..?” teriak Aini kepada si bocah yang sudah sekitar empat meter jauhnya darinya.

Si bocah berbalik badan tanpa berhenti berlari, lalu berteriak,

“OZY, KAK!”

“kapan- kapan kita ketemu lagi ya, Ozy!!” teriak Aini lagi.

Ozy mengangguk, lalu meneruskan larinya.

“..ozy? hemm..” Aini menggumam sendiri. Sebentuk senyuman berbeda tergaris di wajahnya.
--

Hanya diri sendiri
Engkau yang hatinya terluka

Selasa, 16 Februari 2010

Find The Way -- Chapter 1

Deru angin masih saja terdengar. Saat pagi datang, dan hingga mentari bersembunyi, bagi kita adalah sama saja. Karena aku dan kamu.. Kita ada di dunia..

“berbeda”

--


Rutinitas pagi masih terus terjadi di kota ini. Tak terkecuali seperti riuh ramai sebuah kelas di salah satu sekolah di Bandung. Siswa- siswi di dalamnya tampak begitu sibuk dengan urusan masing-masing.


Ada yang ribut mencari contekan PR nya yang belum selesai, ada yang asyik bercakap- cakap dan tertawa bersama teman akrab mereka. Para ketua kelas dan wakil sibuk menenangkan kelas yang gaduh. Sementara ada pula yang tenggelam dalam dunianya sendiri di pojok kelas.


DUK DUK DUK!


Reno memukul meja guru dengan penghapus papan tulis, kemudian berteriak lantang,


“woi ada Bu Pipit! Diem semuanya!”


Seketika murid- murid XI IA 1 langsung grasak- grusuk, berebutan untuk duduk di tempat masing- masing.


Bu Pipit adalah guru Biologi, dan Beliau juga wali kelas X1 IA 1 di Bakti Pertiwi School, atau yang akrab disebut BPS. Tak biasanya Beliau masuk terlambat seperti pagi ini. Hmm, mungkin dia punya urusan pribadi. Atau urusan.. kelas?


Bu Pipit memasuki kelas XI IA 1 dengan senyum penuh wibawanya. Air wajahnya terlihat menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak anak- anak. Setelah kelas disiapkan oleh Reno sang ketua kelas, Bu Pipit tak berpanjang lebar untuk mengumumkan kedatangan seorang teman baru. Pendatang di BPS yang akan menggenapkan jumlah siswa XI IA 1 menjadi 40 orang.


Beberapa anak perempuan sibuk berbisik- bisik sat melihat sesosok gadis manis melangkahkan kakinya masuk ke ruang kelas. Beberapa pasang mata menatap penuh penasaran, ada pula yang tersenyum senang mendapatkan teman baru. Si gadis itu lalu berdiri tepat di samping Bu Pipit.


“silahkan perkenalkan diri,” ujar Bu Pipit pada si anak baru. Senyum ramah Beliau menghiasi wajahnya yang cantik keibuan.


Si anak baru mengangguk, tersenyum. Sesaat ia mengedarkan pandangannya kepada calon teman- teman barunya. Tatapannya sempat berhenti pada sesorang yang tampak acuh tak acuh. Orang itu sibuk sendiri di bangkunya yang terletak di pojok kanan kelas. paling belakang.


“nama saya.. Sarah Salsabila. Kalian bisa panggil saya Sarah. Saya pindahan dari Jakarta. Semoga saya bisa diterima dengan baik di sini,” ujarnya memperkenalkan diri.


“ada yang mau bertanya, mungkin?” tawar Bu Pipit, seperti bisa membaca wajah pecicilan anak- anak, terutama yang cowok- cowok.


“hobinya apa?” Tanya seorang cewek berambut pendek sebahu, Via namanya.


Sarah tersenyum, lalu menjawabnya.


“..meneropong bintang,”


“weeessss..” koor anak- anak sekelas. Sebagian merespon berlebihan dengan berseru lebih keras.


“pasti bintangnya nggak pernah keliatan ya?” celetuk Reno dengan cukup keras, mengalihkan perhatian semua orang di kelas, tak terkecuali si ‘acuh tak acuh’ itu.


“enggak pernah keliatan gimana maksudnya?” Tanya salah satu anak.


Cowok itu menatap kawan- kawannya diiringi senyuman penuh arti. Membuat anak- anak makin penasaran. Ia kemudian mengarahkan pandangannya pada Sarah yang juga menatapnya bingung.


“iyalah nggak keliatan!..bintangnya pasti ngumpet..”


“..soalnya.. bintangnya pasti malu karena kalah cantik sama yang neropong,” jawab Reno dengan santainya.


1 detik.. 2 detik..






“wooooooooooo!!”






XI IA 1 kompak menyoraki Reno. Namun cowok itu stay cool aja waktu teman sebangkunya menoyor kepalanya.


Bu Pipit geleng- geleng kepala mendengarnya. Beliau hanya mengedikkan bahu saat Sarah melirik padanya dengan tatapan aneh. Gadis itu tersenyum kecut, meskipun dalam hati ia pengen ngakak denger kata- kata Reno. Gombal abis dah!


“..basi woo!”


“tauu, gombaalll!!”


Reno hanya mendelik sedikit mendengar ada yang mengatainya gombal. Ia malah kembali asyik melihat pada Sarah. Dan Sarah menyadari hal itu, makanya ia sok- sok melihat ke arah lain, mengacuhkan Reno. Ia melihat ke arah seseorang itu lagi. ‘Dia’ memandang Reno dengan tatapan mencela, tapi tak sedikitpun tertawa seperti anak lain.


“sudah, sudah!” seru Bu Pipit, menghentikan kegaduhan kelas.


“baiklah Sarah, kamu bisa duduk di.. emm..”


Bu Pipit mengedarkan pandangannya. Dan matanya tertumbuk pada sebuah bangku kosong di belakang. Di samping.. ‘orang’ itu.


“nah, di sana, di sebelah Raissa,”


Sarah dengan cepat mengetahui bahwa seseorang yang disebut namanya oleh Bu Pipit barusan adalah si ‘acuh tak acuh’ itu. Di luar dugaan, Sarah justru tersenyum senang dan segera melangkah ke tempat barunya. Ia tak mempedulikan Reno yang masih saja asyik menatapnya.


--


“aku Sarah,”


Sarah mengulurkan tangannya pada Raissa, mencoba mengakrabkan diri. Ia memberikan senyumnya.


Raissa hanya menoleh sekilas pada Sarah tanpa membalas uluran tangannya.


“udah tau,” responnya simpel. Ia kembali asyik dengan buku di tangannya. Entah buku apa, tapi dari covernya sih, seperti buku sketsa.


Sarah hanya manggut- manggut mendengar jawaban Raissa yang jauh dari kata ‘ramah’.


“..emm, kamu.. Raissa kan?” tanyanya lagi, berharap mungkin kali ini Raissa bisa sedikit lebih lunak.


“iya,”


‘makin pendek aja jawabnya..’ batin Sarah. Ia menarik nafas. Sempat bingung mau bicara apa lagi pada Raissa. Ia anak baru di sekolah ini, dan mempunyai teman sebangku yang jutek parah. Ampuuun dah!


“ayo buka buku kalian, halaman 77,” suara Bu Pipit mengalihkan perhatian anak- anak. Sarah celingukan, memastikan buku pendukungnya sama seperti yang dipakai anak lainnya. Dan beruntung, karena bukunya memang sama.






TEET TEEEEET…






Sepanjang pelajaran, Sarah gelisah karena belum juga bisa beramah tamah dengan teman sebangkunya, Raissa. Dan saat bel istirahat berbunyi, Sarah langsung sibuk menjawab pertanyaan teman- teman baru yang ingin berkenalan dengannya. Jadi serasa artis baru, eksis! hahaha


Haaaah, sekarang ia ingin kembali memulai usahanya untuk mengakrabkan diri ‘lagi’ dengan kawan sebangkunya itu.


“Raissa..”


Raissa menoleh mendengar namanya dipanggil.


“Aku kan anak baru di sekolah ini.. jadi aku pengen lebih tau tentang sekolah ini.. jadi..”


“Sarah!”


Sarah menoleh. Via memanggil seraya menghampirinya.


“kenalin, aku Via,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Sarah membalasnya.


“Sarah..” jawabnya sambil tersenyum. Ia memperhatikan wajah Via. Satu kata yang terbesit.


Cantik.


“ke kantin yuk!” ajak Via kemudian.


“emm.. enggak deh, makasih. Aku bawa bekal kok,” tolak Sarah dengan halus.


“oh yaudah deh,”


Via melirik Raissa sekilas dan memandang gadis itu dengan tatapan tak enak. Raissa pun demikian. Seperti ada rasa saling tidak suka antara keduanya.


Raut Via kembali berubah ceria saat melihat Sarah.


“kalo gitu.. aku ke kantin dulu ya. Kalo butuh apa- apa, kamu bisa panggil aku. Oke?”


Sarah mengangguk, menyetujui tawaran Via. Mata gadis itu terus mengikuti Via hingga gadis itu menghilang di balik pintu kelas.


“Via cantik ya?”


Raissa tak menggubris.


“tadi kamu mau ngomong apa?” tanyanya dengan nada datar. Mengingatkan Sarah.


“eh iya. Heheh. Aku mau keliling sekolah ini. Kamu mau.. temenin aku?” tanyanya hati- hati.


“..Nggak bisa. Aku sibuk. Minta sama yang lain aja,”


Sarah menggaruk kepalanya yang enggak gatal.ia memutar otak.


“bentar aja..”


Raissa keukeuh menggeleng.


“tuh, minta anterin aja sama Reno. Pasti dia mau,” ujarnya sambil menunjuk dagu ke arah Reno. Gadis dingin itu kemudian bangkit, membawa buku sketsanya pergi meninggalkan Sarah yang masih menatapnya bingung.


“mau aku temenin gak?”


Sarah menoleh. Dan terpaku melihat siapa yang ada di depannya.


--to be continued..--









Copyright 2009 diary remaja. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy