RSS
Tampilkan postingan dengan label iseng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label iseng. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Maret 2010

Find The Way -- Chapter 3

ini chapter 3 nya..

heheh. agak ngebingungin sih kayaknya.. soalnya tokohnya emang enggak cuma satu- dua orang aja.. tapi semoga ngerti kalo udah baca lanjutannya.*amiin*


selamat membaca^^,

--


"Find The Way -- Chapter 3"




Aku harus bilang ini meski tak menginginkannya. Harus melakukan itu meski terpaksa. Seringkali kau hanya tersenyum saat aku berbisik padamu tentang semuanya. Ketika aku bertanya, bolehkah aku..

“memilih jalanku?”


--


“Devaaaaaaa!!!!!!”

Seisi rumah dikejutkan oleh pekikan Oma pada moment sarapan pagi itu. Beliau terkejut bukan main saat melihat Deva yang baru saja duduk di kursinya, hendak menunaikan sarapan paginya.

Deva bergidik ngeri. Matanya menatap antara takut dan heran kepada Oma.


“..Om- ma?..”


“itu rambut kamu diapain, kenapa berantakan begitu??..”


Mama yang baru saja kembali dari dapur sampai terpaku di tempat. Ia ikut memperhatikan rambut Deva yang dipermasalahkan Oma.


Alis Deva bertaut. Ia memegang- megang rambutnya. Kayaknya nggak ada yang salah dengan rambutnya. Masa dibilang berantakan, sih?


“ini, Oma?” Tanya Deva sambil menunjuk rambutnya. “ini mah bukan berantakan.. ini tuh mode, Oma!” responnya bersemangat. Ia tersenyum ceria, lalu menaik- naikkan alisnya, senang.


“keren kan, Oma?”


Cecil yang duduk di hadapan Deva menunduk, menutup mulutnya untuk menahan tawa. Masih bisa aja adiknya bercanda, padahal wajah Oma sudah tampak sangat shock.


Mama melirik Cecil, pandangannya seperti mengisyaratkan Cecil untuk tidak menunjukkan kegeliannya di depan Oma. Cecil diam.


Oma mengatur nafasnya, lalu duduk kembali di kursinya.


“mode? Mode apa? Deva itu mau sekolah, bukan fashionshow!” Oma mengomel. Ia geleng- geleng kepala meyaksikan rambut Deva yang penuh gel, seperti asal- asalan disisir dengan sela jarinya.


“yah, Oma.. ini kan model rambut jaman sekarang Oma.. bukan Cuma buat yang pengen fashionshow doang..” Deva tak setuju dengan ucapan Oma.


Oma menggeleng cepat.


“enggak! Pokoknya Oma nggak suka rambut kamu begitu. Jadi kelihatan berantakan! Nggak rapi!” kata Oma. Nenek Deva dan Cecil itu tampak sangat shock melihat cucu bungsunya dengan tatanan rambut seperti itu.


Harajuku style.


“ayo, rapikan lagi rambutnya!” suruh Oma.


Deva manyun. Ia duduk lemas di kursinya.


“Cecil, bantu Deva rapikan rambutnya, Nak,” kata Mama.


Cecil mengangguk, lalu mengajak Deva yang masih lesu untuk kembali ke kamar, merapikan rambutnya.




Di kamar.


Deva duduk di depan cermin. Sebal.


“berantakan apanya, sih? Ini kan harajuku style!” gerutunya. Ia masih tak habis pikir kenapa Oma mengatai rambutnya berantakan. Padahal kayaknya artis- artis cilik banyak yang pake hairstyle harajuku, dan mereka terlihat keren, kok.


Cecil berdiri di samping Deva. Memandangi wajah Deva yang kusut lewat cermin. Ia mengambil sisir dari meja rias, lalu perlahan menyisir rambut Deva kembali seperti biasanya. Rapi.


Deva mendengus, merutuk rambutnya yang diluluhlantakkan oleh kakaknya.


“gini aja ya? Kayak biasanya..” ucap Cecil, ia menepuk bahu kecil Deva.


“aaaahh! Padahal tadi kan udah keren! Kenapa harus dirapiin lagi sih, Kak!” protesnya, walau daritadi ia sama sekali tak melawan saat Cecil merapikan rambutnya.


Cecil menghela nafas.


“yaa.. kan kita mau sekolah. Mungkin, menurut Oma, lebih cakep kalo rambut kamu begini. Lebih enak diliat,”


Deva memutar bola matanya malas.


“itu kan menurut Oma.. udah tau Oma jadul! Pasti enggak ngerti yang namanya mode!”


Cecil hanya mengedikkan bahunya.


Deva melenguh. Mata bulatnya lalu memandangi kakaknya dengan pandangan lesu.


“kenapa sih, Kak, Oma selalu ngatur- ngatur kita? Nggak boleh ini lah, nggak boleh gitu. Harus begini, mesti begitu. Huh, kayak balita aja,”


Cecil berlutut di samping Deva, lalu merangkul adik kecilnya itu.


“jangan ngambek dong.. ntar cakepnya ilang, lho..” ujar Cecil. “ayo senyuuuum..” rayu Cecil lagi. Kedua tangannya menarik pipi Deva agar menarik senyumnya.


“ntar Kakak traktir es krim, deh? Yah?”


Mata Deva menyipit.


“emangnya Deva anak kecil, apa, dikasih es krim? Nggak mau ah!”


Cecil tertawa.


“ohh.. jadi Deva udah gede, nih? Kalo gitu jangan ngambek dong!”


Deva diam, masih dengan wajahnya yang lesu.


“dengerin ya, Oma begitu, karena pengen kita disiplin, Deva. Kita kan harus menjaga nama baik keluarga. Keluarga Arga. Seperti nama kamu kan? Deva Ekada Arga?”


Deva merengut. Mukanya makin ditekuk dibanding yang tadi.


“tapi.. begitu banget, sih? Masa mau makan aja diatur! Harus tegak, tangannya gak boleh nempel di atas meja. Harus diem, nggak boleh buru- buru, nggak boleh banyak- banyak. Kan enggak enak, enggak bebas jadinya!” keluh Deva, meluapkan isi hati dan ketidaksetujuannya.


“sekarang, rambut aja Oma yang ngatur. Jangan- jangan.. nanti kalo Deva mau nikah, Oma juga yang ngatur!” tambahnya lagi.


“adikku sayang, jangan bête gitu dong.. maksudnya Oma baik, kok.. Oma itu Cuma pengen supaya kita bisa—”


“—menjaga nama baik keluarga Arga?” potong Deva. Ia memberikan penekanan pada kata ‘keluarga Arga’. “Deva tau kok, Kak!”


“tapi Deva bisa gila kalo setiap saat harus diatur terus!” lanjut Deva dengan volume keras. Terdengar nada kesal dalam ucapannya. Bocah imut itu lalu segera meraih tasnya, melangkah keluar kamar.


------




Semesta itu seimbang. Saling mengisi, melengkapi. Begitupun nada- nada. Melodiku, melodimu, sehati dan seirama. Berdetak merdu dalam sebuah..

“harmoni”


--


Hujan masih terus membasahi bumi sejak pagi tadi. Rintik- rintik airnya turun satu- persatu. Teratur, seperti melodi. Membasahi hati setiap insan yang melihatnya. Bandung diselimuti kabut hujan. Membuat udara sejuknya makin dingin membekukan.


Zahra meringkuk di ujung café Lanina. Duduk sendirian di dekat jendela yang berhiaskan embun hujan di luar. Setapak jalan di luar tak luput oleh hujan. Sesekali kilat tampak menyambar- nyambar kecil. Begitu jelas terlihat dari dalam ruangan.


Gadis itu merapatkan jaket baby blue- nya, sambil mengusap- usap lengannya yang merinding tertusuk hawa dingin. Ia menempelkan telunjuk tangan kanannya di kaca, lalu membentuk goresan dari uap- uap yang terbentuk di kaca dalam yang bening.


‘love’..


“Zahra!.. cepat kemari! Ada pelanggan!”


Zahra segera bangkit dari sofa empuknya. Mengambil daftar menu dan pulpen di meja sampingnya dan meninggalkan ‘love’ nya yang perlahan menghilang dilenyapkan dingin.


“iya, Paman!..”
--


Ada satu tempat di sudut café Lanina yang sangat nyaman untuk ditempati. Dari sana, pemandangan kota di luar dapat terlihat dengan jelas. Sofanya berbahan beludru lembut berwarna biru langit. Meja kayu di depannya berhiaskan ukiran- ukiran sederhana dan elegan.


Saat ini ada seseorang yang menempati tempat cozy itu. Seorang gadis berseragam SMU yang masih saja sibuk berkutat dengan laptopnya, mungkin menyelesaikan tugas sekolahnya.


“cheese cake special dan capuchinno float sudah datang!.. silahkan dinikmati,”


Alifa menoleh, kemudian tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Ia memandangi Zahra dari ujung kaki sampai ujung kepala, menilai penampilan kawannya itu dengan dress waitress yang dikenakannya.


Zahra memasang senyumnya, lalu duduk di sofa di hadapan Alifa.


“..keren,” gumam Alifa.


“aku? makasih,” sahut Zahra dengan pedenya.


Alifa tertawa.


“yee.. pede dahsyat! Maksudku seragamnya yang keren, tau! Hahaha”


Zahra membulatkan bibir, setelah itu hanya cengar- cengir.


Suasana café Lanina yang bernuansa minimalis elegan sangat menarik perhatian Alifa. Di setiap sudut ruangan terdapat tanaman- tanaman hias yang tertata rapi di pot sedang hingga besar yang berwarna peach. Di dindingnya juga terpasang lukisan- lukisan indah dengan berbagai ukuran. Lampu- lampu redup dipasang untuk tiap meja di tepi ruangan, sepanjang pinggiran hingga terkesan sangat mewah.


“..kamu nggak pernah bilang kalo paman kamu punya café sekeren ini?.. ckck.. cozy banget tempatnya,”


“harus?”


“yaa.. enggak sih. Tapi kan kali aja aku bisa bantu promosiin café ini ke temen- temen..”


Zahra tertawa. Sementara mata Alifa masih saja terus berkelana menyusuri penjuru café. Dilihatnya panggung live music yang masih kosong.


“itu panggung live music ya, Ra?” Tanya Alifa sambil menunjuk ke arah panggung.


Zahra mengangguk.


“iya.. buat hiburan para pengunjung di sini. Biar nggak bosen lah..”


“ooh..” Alifa manggut- manggut. “tapi kok sekarang kosong, sih? Emang siapa yang biasa manggung di sana?”

“nggak tentu sih.. tapi ada, kok. Bentar lagi juga mulai..” jawab Zahra sambil mengecek jam tangannya. Pukul 16.00.


Panggung itu membuat Alifa penasaran. Ia belum juga mengalihkan pandangannya dari panggung itu. Seperti menanti sesuatu.


“yaudahlah, dicobain dulu gih, cheesecake nya..” ujar Zahra kemudian.


“iya, iya..”


Tak berapa lama, suara gitar terdengar dari mikrofon. Alunan gitar itu mengalun dengan merdu menyihir orang- orang di café, tak terkecuali Alifa.


Matanya menyipit, meningkatkan daya akomodasinya agar dapat melihat jelas seseorang yang duduk di bangku dengan mikrofon di depannya. Alisnya bertaut heran.


“Ra, itu yang biasa nyanyi?”


“iya..”


“kok masih kecil sih?”


“nggak juga ah. Udah SMP kok, kelas tujuh, sih..”


“..bukan pengeksploitasian anak, kan?”


“hush! udah ah, dengerin aja..”


“haha. Iya, maaf..”


Aku mengenal dikau
Tlah cukup lama, separuh usiaku
Namun begitu banyak
Pelajaran yang aku terima


Kau membuatku mengerti hidup ini
Kita terlahir bagai selembar kertas putih
Tinggal kulukis dengan tinta pesan damai
Dan terwujud harmoni..


Alifa tak melepas pandangannya dari sosok kecil di panggung itu. Caranya bernyanyi dan matanya yang tampak berbicara. Ia merasa pernah merasakan hal yang sama, dulu. Hanya saja Alifa tak ingat kapan pernah mengalaminya.


Itu terasa sangat nyata. Seperti.. dejavu.


“Ra?”


“hm?”


“..anak itu namanya siapa?”


“..Ozy..”


Segala kebaikan
Tak kan terhapus oleh kepahitan
Kulapangkan resah jiwa
Karena kupercaya
Kan terwujud indah..


(padi – harmoni)


--to be continue..--
--


alhamdulillah, yang ketiga selesai.. hahahah.
untuk chapter 4, sedang mencari inspirasi. heheh.
kritik saran dan komentarnya ditunggu.. hehehe^^,
--makasihh--


Selasa, 23 Februari 2010

Find The Way -- Chapter 2

ini chapter 2 nya!
masih belum seru, sih.. masih pemanasan. tapi semoga menghibur ya!

selamat membaca! ^^,

--
"Find The Way -- Chapter 2"


Jika kesedihan ibarat kerikil, maka akan kulemparkan itu jauh- jauh agar tak mengganggumu. Jika kesakitan ibarat batu, sungguh akan kuhancurkan itu agar tak menjamahmu. Cukup sekali saja kau menangis, biar selamanya bisa tersenyum bersamaku. Seperti saat awal, kita saling..

“bercerita”

--


Pluk!


“Aww!!”, terdengar suara orang kesakitan di balik semak- semak. Aini langsung panik mendengarnya. Jangan-jangan kerikil yang baru saja ia lemparkan mengenai orang yang berada di semak- semak.


“Aduh! Maaf.. saya nggak sengaja! Siapapun yang di sana, saya minta maaf!” teriak Aini.


Seseorang yang terkena lemparan kerikil Aini itu mengelus- elus kepalanya. Ia yang tadinya sedang duduk- duduk santai dengan gitarnya, segera berdiri, mendongak di atas semak- semak taman.


“..kakak ya, yang ngelempar ini?” Tanya orang itu sambil mengacungkan kerikil yang tadi dilempar Aini.


‘aduh gawat! Anak kecil, lagi, yang kena!’ batin Aini.


“..eng.. hehe.. iya.. maaf yaa..” jawab Aini agak gagap. Ia masih diam di atas kursi rodanya. Berharap penuh agar si anak yang terkena lemparannya tidak mengadu pada orangtuanya.


“kamu enggak apa- apa kan?” Tanya Aini mengecek.


Si anak menggeleng pelan, dan malah tersenyum. Setelah itu Aini agak kaget karena anak itu berjalan menghampiri dirinya.


“..maaf ya?” sekali lagi Aini meminta maaf.


Anak itu masih saja mengelus kepalanya. Terlihat bahwa ia meringis kesakitan, meskipun di wajahnya ada segaris senyuman riang khas anak- anak.


“kakak, kenapa kerikilnya dilempar? Untung Cuma kerikil, coba kalo yang Kakak lempar itu batu. Bisa benjol gede kepalaku! Hahaha..”


Aini tersenyum kecut. Anak ini.. kok malah ketawa, sih? Padahal kalo Aini yang jadi anak ini, dia bakal langsung misuh- misuh, ujung- ujungnya ngadu ke orangtuanya.


“kakak lagi kesel ya?” Tanyanya lagi. Kali ini ia duduk di bangku taman, di samping Aini. “atau lagi.. sedih?”


Aini menggaruk kepalanya. Lalu menghela nafas panjang. Ia nggak berniat menceritakan masalahnya pada bocah laki- laki di depannya. Dilihat dari postur dan wajahnya, mungkin anak itu berusia sekitar 11 atau 12 tahun. Mungkinkah akan mengerti jika Aini bercerita?


“..iyaa.. mungkin.. gitu..” ucap Aini dengan ragu.


bocah itu diam sambil berkedip polos. Memandang Aini dengan tatapan lugunya.


“sedih.. iya.. sedih.. hahaha. Apa ya?”


Aini berbicara tak jelas. ia diam sejenak, dan menghela nafas lagi. Ia merasa hidupnya sangat menyedihkan.


“mau cerita?” tawar anak itu.


Aini memandangi wajah si bocah dengan tatapan bingung. Cerita?


“cerita? Untuk apa?” tanyanya. Ia melihat si bocah dengan tatapan ragu.


Si bocah laki- laki dengan rambut jigrik itu tersenyum lebar. Tangannya sibuk membetulkan posisi gitar di tangannya.


“..enggak apa- apa sih. Tapi, siapa tau dengan bercerita, kesedihan Kakak bisa hilang. Eh, nggak deng! Mungkin Cuma.. sedikit berkurang?..”


Aini tertawa mendengarnya.


“kok ketawa sih, Kak? Ada yang lucu ya?” Tanya anak itu. Sebentuk ekspresi heran terlukis di wajahnya.


Aini berusaha menyudahi tawanya.


“..enggak kok, enggak. Tapi.. siapa yang ngajarin kamu ngomong begitu? Ayah kamu ya?..” tebak Aini.


Anak itu menggeleng.


“..ibu kamu?”


Lagi- lagi ia menggeleng, masih dengan senyuman. Senyuman yang terlihat begitu tulus dan polos.


“aku enggak punya Ayah sama Ibu, Kak!”


DEG!


Entahlah, Aini bahkan tidak tahu jawaban yang keluar dari mulut anak itu akan sebegitu mudahnya terlontar.


“maaf.. jadi kamu udah..” ucapan Aini tertahan. Rasanya terlalu kejam jika ia harus menyebut kata yatim- piatu pada anak itu. Ia bisa saja membuat anak itu sedih.


“enggak kok, Kak!” potong anak itu. Ia seperti bisa membaca apa yang dipikirkan Aini. “aku bukan yatim piatu!”


Alis Aini bertaut bingung.


“jadi?”


Bocah laki- laki itu meletakkan gitar di sampingnya, lalu mulai bercerita.


“..aku pernah punya Ayah sama Ibu. Sama seorang Kakak. Tapi.. sekarang aku enggak tau mereka dimana. Aku nggak pernah ketemu lagi sama mereka!..”


“..kok bisa?”


“emm.. yang aku inget, terakhir aku ketemu mereka itu.. waktu umur aku empat tahun.. setelah itu, aku diasuh sama Paman!” ujarnya riang. Seolah itu bukan suatu masalah baginya.


“paman?”


Si bocah mengangguk cepat.


“iya! Paman! Dia yang selama ini ngasuh aku.. meskipun aku nggak tinggal sama dia..”


“emangnya kamu tinggal sama siapa?”


“sama Mbak, dia yang dibayar Paman untuk merawat aku, karena, Paman bilang, Paman sibuk, takut nggak ada waktu buat ngurus aku..”


Aini manggut- manggut sambil membulatkan bibir. Ternyata bocah atraktif di hadapannya punya kisah hidup yang menarik. Dan sadar atau tidak, mood Aini sedikit terangkat mendengarnya.


“kamu nggak kangen sama mereka? ayah, Ibu, dan Kakak kamu?” Aini bertanya lagi. Ia sudah tidak begitu canggung berbicara dengan bocah yang baru saja dikenalnya ini.


Eh, apa belum kenal ya? Tahu namanya aja enggak..


“iya.. kangen banget, malah! Paman pernah bilang, kalo aku pasti bakal ketemu mereka lagi, asalkan aku mau nurut sama Paman..”


Aini tersenyum melihat bocah di depannya. Anak itu terlihat begitu bersemangat menjalani hidupnya.


“..Kak Zahra juga bilang, suatu hari nanti aku pasti akan ketemu Ayah, Ibu, dan Kakak. Syaratnya, aku nggak boleh sedih, dan harus selalu berdoa sama Tuhan!”


“kak Zahra? siapa dia?”


Si anak menepuk dahinya.


“oh iya yah. Aku belum bilang, ya? Kak Zahra itu keponakannya Paman.. dia udah aku anggap kayak Kakak aku sendiri..”


“ohh..” Aini membulatkan bibir. Dalam benaknya, ia membayangkan wajah orang- orang dalam cerita anak itu. Orang yang disebut Paman, Mbak, dan Kak Zahra.


“oya! Aku sama Kak Zahra punya satu lagu favorit. Dan aku selalu nyanyiin itu.. terutama kalo lagi sedih. Mau denger nggak, Kak?..”


Aini mengangguk. Segaris senyuman menghiasi wajah lelahnya.


Bocah laki- laki itu menempatkan jari- jarinya pada senar gitarnya. Petikan gitarnya perlahan terdengar. Disusul oleh suaranya yang ternyata sangat lembut dan menenangkan.


Engkau yang sedang patah hati
Menangislah dan jangan ragu ungkapkan
Betapa pedih hati yang tersakiti
Racun yang membunuhmu secara perlahan


Engkau yang saat ini pilu
Betapa menanggung beban kepedihan
Tumpahkan sakit itu dalam tangismu

Yang menusuk relung hati yang paling dalam


Sejenak Aini kembali mengingat artikel yang dibacanya di internet, kemarin malam.


-Jantung koroner merupakan salah satu penyakit pembunuh yang paling ditakuti di seluruh dunia. Biasanya penyakit ini dialami oleh orang berusia produktif dan menyerang secara mendadak hingga menimbulkan kematian.-


Kematian. Kata itulah yang mengganggunya. Bila penyakitnya ini pada akhirnya akan berujung pada kata itu, lalu apa gunanya pengobatan yang selama ini ia jalani?


Hanya diri sendiri
Yang tak mungkin orang lain akan mengerti
Di sini ku temani kau dalam tangismu
Bila air mata dapat cairkan hati
Kan ku cabut duri pedih dalam hatimu
Agar kulihat, senyum di tidurmu malam nanti
Anggaplah semua ini
Satu langkah dewasakan diri
Dan tak terpungkiri
Juga bagi...
--

“..lumpuh?..”

Mama memeluk Aini, mencoba menenangkannya yang sudah menangis terisak.

“..sementara.. hanya sementara, Sayang..”

“tapi Aini enggak bisa jalan, Ma.. apa harus pake kursi roda terus?..” Aini masih menangis, meratapi keadaannya.

“..kamu bisa terapi.. pasti kamu bisa jalan lagi..”

--

Di peluk nestapa tersapu derita
Seiring saat keringnya air mata
Tak mampu menahan pedih yang tak ada habisnya

Hanya diri sendiri
Yang tak mungkin orang lain akan mengerti
Di sini ku temani kau dalam tangismu
Bila air mata dapat cairkan hati
Kan ku cabut duri pedih dalam hatimu
Agar kulihat, senyum di tidurmu malam nanti
Anggaplah semua ini
Satu langkah dewasakan diri
Dan tak terpungkiri
Juga bagi..mu...

(last child- pedih)


Sesak di hati Aini meluap lagi. Airmatanya jatuh.

 
Yang tak mungkin orang lain akan mengerti

Benar. Memang hanya dirinya sendiri yang tahu betapa sakitnya mengetahui keadaan dirinya yang tak sebaik orang lain.

Tapi..

Aini justru tersenyum mendengar untaian kalimat yang dinyanyikan bocah itu. Sepertinya maknanya dapat begitu mengena di benak Aini.

“Kakak kok nangis?”

“hah?”

Rupanya dari tadi si anak sudah memperhatikan mata Aini yang basah. Ia menatap Aini dengan pandangan penuh tanya.

“eh.. eng.. enggak apa- apa kok. Hehe.. lagunya bagus..” ujar Aini. Tangannya langsung mengusap airmatanya yang masih tersisa.

Bocah laki- laki itu tersenyum riang.

“makasih ya, udah mau hibur Kakak. Sekarang Kakak udah nggak sedih deh..” lanjut Aini. ia lalu menarik nafas panjang, menghempaskan sisa- sisa kepenatannya agar terbawa angin.

Si bocah tertawa kecil.

“iya, sama- sama.. Kak.. Aini,” jawabnya. Ia sempat melirik nama Aini lewat gelang perak bertuliskan ‘Aini’ yang terpasang manis di tangan kanannya.

“eh iya, aku balik ke kamarku dulu ya, Kak!.. pasti Mbak nyariin! Dah Kakak!” ujar bocah itu. Tiga kalimat yang diucapkannya dengan cepat. Anak itu segera bangkit, membawa gitarnya, dan berlari pergi sebelum Aini sempat mengucapkan apapun.

“ehh tunggu! Nama kamu siapa..?” teriak Aini kepada si bocah yang sudah sekitar empat meter jauhnya darinya.

Si bocah berbalik badan tanpa berhenti berlari, lalu berteriak,

“OZY, KAK!”

“kapan- kapan kita ketemu lagi ya, Ozy!!” teriak Aini lagi.

Ozy mengangguk, lalu meneruskan larinya.

“..ozy? hemm..” Aini menggumam sendiri. Sebentuk senyuman berbeda tergaris di wajahnya.
--

Hanya diri sendiri
Engkau yang hatinya terluka

Selasa, 16 Februari 2010

Find The Way -- Chapter 1

Deru angin masih saja terdengar. Saat pagi datang, dan hingga mentari bersembunyi, bagi kita adalah sama saja. Karena aku dan kamu.. Kita ada di dunia..

“berbeda”

--


Rutinitas pagi masih terus terjadi di kota ini. Tak terkecuali seperti riuh ramai sebuah kelas di salah satu sekolah di Bandung. Siswa- siswi di dalamnya tampak begitu sibuk dengan urusan masing-masing.


Ada yang ribut mencari contekan PR nya yang belum selesai, ada yang asyik bercakap- cakap dan tertawa bersama teman akrab mereka. Para ketua kelas dan wakil sibuk menenangkan kelas yang gaduh. Sementara ada pula yang tenggelam dalam dunianya sendiri di pojok kelas.


DUK DUK DUK!


Reno memukul meja guru dengan penghapus papan tulis, kemudian berteriak lantang,


“woi ada Bu Pipit! Diem semuanya!”


Seketika murid- murid XI IA 1 langsung grasak- grusuk, berebutan untuk duduk di tempat masing- masing.


Bu Pipit adalah guru Biologi, dan Beliau juga wali kelas X1 IA 1 di Bakti Pertiwi School, atau yang akrab disebut BPS. Tak biasanya Beliau masuk terlambat seperti pagi ini. Hmm, mungkin dia punya urusan pribadi. Atau urusan.. kelas?


Bu Pipit memasuki kelas XI IA 1 dengan senyum penuh wibawanya. Air wajahnya terlihat menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak anak- anak. Setelah kelas disiapkan oleh Reno sang ketua kelas, Bu Pipit tak berpanjang lebar untuk mengumumkan kedatangan seorang teman baru. Pendatang di BPS yang akan menggenapkan jumlah siswa XI IA 1 menjadi 40 orang.


Beberapa anak perempuan sibuk berbisik- bisik sat melihat sesosok gadis manis melangkahkan kakinya masuk ke ruang kelas. Beberapa pasang mata menatap penuh penasaran, ada pula yang tersenyum senang mendapatkan teman baru. Si gadis itu lalu berdiri tepat di samping Bu Pipit.


“silahkan perkenalkan diri,” ujar Bu Pipit pada si anak baru. Senyum ramah Beliau menghiasi wajahnya yang cantik keibuan.


Si anak baru mengangguk, tersenyum. Sesaat ia mengedarkan pandangannya kepada calon teman- teman barunya. Tatapannya sempat berhenti pada sesorang yang tampak acuh tak acuh. Orang itu sibuk sendiri di bangkunya yang terletak di pojok kanan kelas. paling belakang.


“nama saya.. Sarah Salsabila. Kalian bisa panggil saya Sarah. Saya pindahan dari Jakarta. Semoga saya bisa diterima dengan baik di sini,” ujarnya memperkenalkan diri.


“ada yang mau bertanya, mungkin?” tawar Bu Pipit, seperti bisa membaca wajah pecicilan anak- anak, terutama yang cowok- cowok.


“hobinya apa?” Tanya seorang cewek berambut pendek sebahu, Via namanya.


Sarah tersenyum, lalu menjawabnya.


“..meneropong bintang,”


“weeessss..” koor anak- anak sekelas. Sebagian merespon berlebihan dengan berseru lebih keras.


“pasti bintangnya nggak pernah keliatan ya?” celetuk Reno dengan cukup keras, mengalihkan perhatian semua orang di kelas, tak terkecuali si ‘acuh tak acuh’ itu.


“enggak pernah keliatan gimana maksudnya?” Tanya salah satu anak.


Cowok itu menatap kawan- kawannya diiringi senyuman penuh arti. Membuat anak- anak makin penasaran. Ia kemudian mengarahkan pandangannya pada Sarah yang juga menatapnya bingung.


“iyalah nggak keliatan!..bintangnya pasti ngumpet..”


“..soalnya.. bintangnya pasti malu karena kalah cantik sama yang neropong,” jawab Reno dengan santainya.


1 detik.. 2 detik..






“wooooooooooo!!”






XI IA 1 kompak menyoraki Reno. Namun cowok itu stay cool aja waktu teman sebangkunya menoyor kepalanya.


Bu Pipit geleng- geleng kepala mendengarnya. Beliau hanya mengedikkan bahu saat Sarah melirik padanya dengan tatapan aneh. Gadis itu tersenyum kecut, meskipun dalam hati ia pengen ngakak denger kata- kata Reno. Gombal abis dah!


“..basi woo!”


“tauu, gombaalll!!”


Reno hanya mendelik sedikit mendengar ada yang mengatainya gombal. Ia malah kembali asyik melihat pada Sarah. Dan Sarah menyadari hal itu, makanya ia sok- sok melihat ke arah lain, mengacuhkan Reno. Ia melihat ke arah seseorang itu lagi. ‘Dia’ memandang Reno dengan tatapan mencela, tapi tak sedikitpun tertawa seperti anak lain.


“sudah, sudah!” seru Bu Pipit, menghentikan kegaduhan kelas.


“baiklah Sarah, kamu bisa duduk di.. emm..”


Bu Pipit mengedarkan pandangannya. Dan matanya tertumbuk pada sebuah bangku kosong di belakang. Di samping.. ‘orang’ itu.


“nah, di sana, di sebelah Raissa,”


Sarah dengan cepat mengetahui bahwa seseorang yang disebut namanya oleh Bu Pipit barusan adalah si ‘acuh tak acuh’ itu. Di luar dugaan, Sarah justru tersenyum senang dan segera melangkah ke tempat barunya. Ia tak mempedulikan Reno yang masih saja asyik menatapnya.


--


“aku Sarah,”


Sarah mengulurkan tangannya pada Raissa, mencoba mengakrabkan diri. Ia memberikan senyumnya.


Raissa hanya menoleh sekilas pada Sarah tanpa membalas uluran tangannya.


“udah tau,” responnya simpel. Ia kembali asyik dengan buku di tangannya. Entah buku apa, tapi dari covernya sih, seperti buku sketsa.


Sarah hanya manggut- manggut mendengar jawaban Raissa yang jauh dari kata ‘ramah’.


“..emm, kamu.. Raissa kan?” tanyanya lagi, berharap mungkin kali ini Raissa bisa sedikit lebih lunak.


“iya,”


‘makin pendek aja jawabnya..’ batin Sarah. Ia menarik nafas. Sempat bingung mau bicara apa lagi pada Raissa. Ia anak baru di sekolah ini, dan mempunyai teman sebangku yang jutek parah. Ampuuun dah!


“ayo buka buku kalian, halaman 77,” suara Bu Pipit mengalihkan perhatian anak- anak. Sarah celingukan, memastikan buku pendukungnya sama seperti yang dipakai anak lainnya. Dan beruntung, karena bukunya memang sama.






TEET TEEEEET…






Sepanjang pelajaran, Sarah gelisah karena belum juga bisa beramah tamah dengan teman sebangkunya, Raissa. Dan saat bel istirahat berbunyi, Sarah langsung sibuk menjawab pertanyaan teman- teman baru yang ingin berkenalan dengannya. Jadi serasa artis baru, eksis! hahaha


Haaaah, sekarang ia ingin kembali memulai usahanya untuk mengakrabkan diri ‘lagi’ dengan kawan sebangkunya itu.


“Raissa..”


Raissa menoleh mendengar namanya dipanggil.


“Aku kan anak baru di sekolah ini.. jadi aku pengen lebih tau tentang sekolah ini.. jadi..”


“Sarah!”


Sarah menoleh. Via memanggil seraya menghampirinya.


“kenalin, aku Via,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Sarah membalasnya.


“Sarah..” jawabnya sambil tersenyum. Ia memperhatikan wajah Via. Satu kata yang terbesit.


Cantik.


“ke kantin yuk!” ajak Via kemudian.


“emm.. enggak deh, makasih. Aku bawa bekal kok,” tolak Sarah dengan halus.


“oh yaudah deh,”


Via melirik Raissa sekilas dan memandang gadis itu dengan tatapan tak enak. Raissa pun demikian. Seperti ada rasa saling tidak suka antara keduanya.


Raut Via kembali berubah ceria saat melihat Sarah.


“kalo gitu.. aku ke kantin dulu ya. Kalo butuh apa- apa, kamu bisa panggil aku. Oke?”


Sarah mengangguk, menyetujui tawaran Via. Mata gadis itu terus mengikuti Via hingga gadis itu menghilang di balik pintu kelas.


“Via cantik ya?”


Raissa tak menggubris.


“tadi kamu mau ngomong apa?” tanyanya dengan nada datar. Mengingatkan Sarah.


“eh iya. Heheh. Aku mau keliling sekolah ini. Kamu mau.. temenin aku?” tanyanya hati- hati.


“..Nggak bisa. Aku sibuk. Minta sama yang lain aja,”


Sarah menggaruk kepalanya yang enggak gatal.ia memutar otak.


“bentar aja..”


Raissa keukeuh menggeleng.


“tuh, minta anterin aja sama Reno. Pasti dia mau,” ujarnya sambil menunjuk dagu ke arah Reno. Gadis dingin itu kemudian bangkit, membawa buku sketsanya pergi meninggalkan Sarah yang masih menatapnya bingung.


“mau aku temenin gak?”


Sarah menoleh. Dan terpaku melihat siapa yang ada di depannya.


--to be continued..--









Copyright 2009 diary remaja. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy