RSS

Jumat, 12 Maret 2010

Find The Way -- Chapter 3

ini chapter 3 nya..

heheh. agak ngebingungin sih kayaknya.. soalnya tokohnya emang enggak cuma satu- dua orang aja.. tapi semoga ngerti kalo udah baca lanjutannya.*amiin*


selamat membaca^^,

--


"Find The Way -- Chapter 3"




Aku harus bilang ini meski tak menginginkannya. Harus melakukan itu meski terpaksa. Seringkali kau hanya tersenyum saat aku berbisik padamu tentang semuanya. Ketika aku bertanya, bolehkah aku..

“memilih jalanku?”


--


“Devaaaaaaa!!!!!!”

Seisi rumah dikejutkan oleh pekikan Oma pada moment sarapan pagi itu. Beliau terkejut bukan main saat melihat Deva yang baru saja duduk di kursinya, hendak menunaikan sarapan paginya.

Deva bergidik ngeri. Matanya menatap antara takut dan heran kepada Oma.


“..Om- ma?..”


“itu rambut kamu diapain, kenapa berantakan begitu??..”


Mama yang baru saja kembali dari dapur sampai terpaku di tempat. Ia ikut memperhatikan rambut Deva yang dipermasalahkan Oma.


Alis Deva bertaut. Ia memegang- megang rambutnya. Kayaknya nggak ada yang salah dengan rambutnya. Masa dibilang berantakan, sih?


“ini, Oma?” Tanya Deva sambil menunjuk rambutnya. “ini mah bukan berantakan.. ini tuh mode, Oma!” responnya bersemangat. Ia tersenyum ceria, lalu menaik- naikkan alisnya, senang.


“keren kan, Oma?”


Cecil yang duduk di hadapan Deva menunduk, menutup mulutnya untuk menahan tawa. Masih bisa aja adiknya bercanda, padahal wajah Oma sudah tampak sangat shock.


Mama melirik Cecil, pandangannya seperti mengisyaratkan Cecil untuk tidak menunjukkan kegeliannya di depan Oma. Cecil diam.


Oma mengatur nafasnya, lalu duduk kembali di kursinya.


“mode? Mode apa? Deva itu mau sekolah, bukan fashionshow!” Oma mengomel. Ia geleng- geleng kepala meyaksikan rambut Deva yang penuh gel, seperti asal- asalan disisir dengan sela jarinya.


“yah, Oma.. ini kan model rambut jaman sekarang Oma.. bukan Cuma buat yang pengen fashionshow doang..” Deva tak setuju dengan ucapan Oma.


Oma menggeleng cepat.


“enggak! Pokoknya Oma nggak suka rambut kamu begitu. Jadi kelihatan berantakan! Nggak rapi!” kata Oma. Nenek Deva dan Cecil itu tampak sangat shock melihat cucu bungsunya dengan tatanan rambut seperti itu.


Harajuku style.


“ayo, rapikan lagi rambutnya!” suruh Oma.


Deva manyun. Ia duduk lemas di kursinya.


“Cecil, bantu Deva rapikan rambutnya, Nak,” kata Mama.


Cecil mengangguk, lalu mengajak Deva yang masih lesu untuk kembali ke kamar, merapikan rambutnya.




Di kamar.


Deva duduk di depan cermin. Sebal.


“berantakan apanya, sih? Ini kan harajuku style!” gerutunya. Ia masih tak habis pikir kenapa Oma mengatai rambutnya berantakan. Padahal kayaknya artis- artis cilik banyak yang pake hairstyle harajuku, dan mereka terlihat keren, kok.


Cecil berdiri di samping Deva. Memandangi wajah Deva yang kusut lewat cermin. Ia mengambil sisir dari meja rias, lalu perlahan menyisir rambut Deva kembali seperti biasanya. Rapi.


Deva mendengus, merutuk rambutnya yang diluluhlantakkan oleh kakaknya.


“gini aja ya? Kayak biasanya..” ucap Cecil, ia menepuk bahu kecil Deva.


“aaaahh! Padahal tadi kan udah keren! Kenapa harus dirapiin lagi sih, Kak!” protesnya, walau daritadi ia sama sekali tak melawan saat Cecil merapikan rambutnya.


Cecil menghela nafas.


“yaa.. kan kita mau sekolah. Mungkin, menurut Oma, lebih cakep kalo rambut kamu begini. Lebih enak diliat,”


Deva memutar bola matanya malas.


“itu kan menurut Oma.. udah tau Oma jadul! Pasti enggak ngerti yang namanya mode!”


Cecil hanya mengedikkan bahunya.


Deva melenguh. Mata bulatnya lalu memandangi kakaknya dengan pandangan lesu.


“kenapa sih, Kak, Oma selalu ngatur- ngatur kita? Nggak boleh ini lah, nggak boleh gitu. Harus begini, mesti begitu. Huh, kayak balita aja,”


Cecil berlutut di samping Deva, lalu merangkul adik kecilnya itu.


“jangan ngambek dong.. ntar cakepnya ilang, lho..” ujar Cecil. “ayo senyuuuum..” rayu Cecil lagi. Kedua tangannya menarik pipi Deva agar menarik senyumnya.


“ntar Kakak traktir es krim, deh? Yah?”


Mata Deva menyipit.


“emangnya Deva anak kecil, apa, dikasih es krim? Nggak mau ah!”


Cecil tertawa.


“ohh.. jadi Deva udah gede, nih? Kalo gitu jangan ngambek dong!”


Deva diam, masih dengan wajahnya yang lesu.


“dengerin ya, Oma begitu, karena pengen kita disiplin, Deva. Kita kan harus menjaga nama baik keluarga. Keluarga Arga. Seperti nama kamu kan? Deva Ekada Arga?”


Deva merengut. Mukanya makin ditekuk dibanding yang tadi.


“tapi.. begitu banget, sih? Masa mau makan aja diatur! Harus tegak, tangannya gak boleh nempel di atas meja. Harus diem, nggak boleh buru- buru, nggak boleh banyak- banyak. Kan enggak enak, enggak bebas jadinya!” keluh Deva, meluapkan isi hati dan ketidaksetujuannya.


“sekarang, rambut aja Oma yang ngatur. Jangan- jangan.. nanti kalo Deva mau nikah, Oma juga yang ngatur!” tambahnya lagi.


“adikku sayang, jangan bête gitu dong.. maksudnya Oma baik, kok.. Oma itu Cuma pengen supaya kita bisa—”


“—menjaga nama baik keluarga Arga?” potong Deva. Ia memberikan penekanan pada kata ‘keluarga Arga’. “Deva tau kok, Kak!”


“tapi Deva bisa gila kalo setiap saat harus diatur terus!” lanjut Deva dengan volume keras. Terdengar nada kesal dalam ucapannya. Bocah imut itu lalu segera meraih tasnya, melangkah keluar kamar.


------




Semesta itu seimbang. Saling mengisi, melengkapi. Begitupun nada- nada. Melodiku, melodimu, sehati dan seirama. Berdetak merdu dalam sebuah..

“harmoni”


--


Hujan masih terus membasahi bumi sejak pagi tadi. Rintik- rintik airnya turun satu- persatu. Teratur, seperti melodi. Membasahi hati setiap insan yang melihatnya. Bandung diselimuti kabut hujan. Membuat udara sejuknya makin dingin membekukan.


Zahra meringkuk di ujung café Lanina. Duduk sendirian di dekat jendela yang berhiaskan embun hujan di luar. Setapak jalan di luar tak luput oleh hujan. Sesekali kilat tampak menyambar- nyambar kecil. Begitu jelas terlihat dari dalam ruangan.


Gadis itu merapatkan jaket baby blue- nya, sambil mengusap- usap lengannya yang merinding tertusuk hawa dingin. Ia menempelkan telunjuk tangan kanannya di kaca, lalu membentuk goresan dari uap- uap yang terbentuk di kaca dalam yang bening.


‘love’..


“Zahra!.. cepat kemari! Ada pelanggan!”


Zahra segera bangkit dari sofa empuknya. Mengambil daftar menu dan pulpen di meja sampingnya dan meninggalkan ‘love’ nya yang perlahan menghilang dilenyapkan dingin.


“iya, Paman!..”
--


Ada satu tempat di sudut café Lanina yang sangat nyaman untuk ditempati. Dari sana, pemandangan kota di luar dapat terlihat dengan jelas. Sofanya berbahan beludru lembut berwarna biru langit. Meja kayu di depannya berhiaskan ukiran- ukiran sederhana dan elegan.


Saat ini ada seseorang yang menempati tempat cozy itu. Seorang gadis berseragam SMU yang masih saja sibuk berkutat dengan laptopnya, mungkin menyelesaikan tugas sekolahnya.


“cheese cake special dan capuchinno float sudah datang!.. silahkan dinikmati,”


Alifa menoleh, kemudian tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Ia memandangi Zahra dari ujung kaki sampai ujung kepala, menilai penampilan kawannya itu dengan dress waitress yang dikenakannya.


Zahra memasang senyumnya, lalu duduk di sofa di hadapan Alifa.


“..keren,” gumam Alifa.


“aku? makasih,” sahut Zahra dengan pedenya.


Alifa tertawa.


“yee.. pede dahsyat! Maksudku seragamnya yang keren, tau! Hahaha”


Zahra membulatkan bibir, setelah itu hanya cengar- cengir.


Suasana café Lanina yang bernuansa minimalis elegan sangat menarik perhatian Alifa. Di setiap sudut ruangan terdapat tanaman- tanaman hias yang tertata rapi di pot sedang hingga besar yang berwarna peach. Di dindingnya juga terpasang lukisan- lukisan indah dengan berbagai ukuran. Lampu- lampu redup dipasang untuk tiap meja di tepi ruangan, sepanjang pinggiran hingga terkesan sangat mewah.


“..kamu nggak pernah bilang kalo paman kamu punya café sekeren ini?.. ckck.. cozy banget tempatnya,”


“harus?”


“yaa.. enggak sih. Tapi kan kali aja aku bisa bantu promosiin café ini ke temen- temen..”


Zahra tertawa. Sementara mata Alifa masih saja terus berkelana menyusuri penjuru café. Dilihatnya panggung live music yang masih kosong.


“itu panggung live music ya, Ra?” Tanya Alifa sambil menunjuk ke arah panggung.


Zahra mengangguk.


“iya.. buat hiburan para pengunjung di sini. Biar nggak bosen lah..”


“ooh..” Alifa manggut- manggut. “tapi kok sekarang kosong, sih? Emang siapa yang biasa manggung di sana?”

“nggak tentu sih.. tapi ada, kok. Bentar lagi juga mulai..” jawab Zahra sambil mengecek jam tangannya. Pukul 16.00.


Panggung itu membuat Alifa penasaran. Ia belum juga mengalihkan pandangannya dari panggung itu. Seperti menanti sesuatu.


“yaudahlah, dicobain dulu gih, cheesecake nya..” ujar Zahra kemudian.


“iya, iya..”


Tak berapa lama, suara gitar terdengar dari mikrofon. Alunan gitar itu mengalun dengan merdu menyihir orang- orang di café, tak terkecuali Alifa.


Matanya menyipit, meningkatkan daya akomodasinya agar dapat melihat jelas seseorang yang duduk di bangku dengan mikrofon di depannya. Alisnya bertaut heran.


“Ra, itu yang biasa nyanyi?”


“iya..”


“kok masih kecil sih?”


“nggak juga ah. Udah SMP kok, kelas tujuh, sih..”


“..bukan pengeksploitasian anak, kan?”


“hush! udah ah, dengerin aja..”


“haha. Iya, maaf..”


Aku mengenal dikau
Tlah cukup lama, separuh usiaku
Namun begitu banyak
Pelajaran yang aku terima


Kau membuatku mengerti hidup ini
Kita terlahir bagai selembar kertas putih
Tinggal kulukis dengan tinta pesan damai
Dan terwujud harmoni..


Alifa tak melepas pandangannya dari sosok kecil di panggung itu. Caranya bernyanyi dan matanya yang tampak berbicara. Ia merasa pernah merasakan hal yang sama, dulu. Hanya saja Alifa tak ingat kapan pernah mengalaminya.


Itu terasa sangat nyata. Seperti.. dejavu.


“Ra?”


“hm?”


“..anak itu namanya siapa?”


“..Ozy..”


Segala kebaikan
Tak kan terhapus oleh kepahitan
Kulapangkan resah jiwa
Karena kupercaya
Kan terwujud indah..


(padi – harmoni)


--to be continue..--
--


alhamdulillah, yang ketiga selesai.. hahahah.
untuk chapter 4, sedang mencari inspirasi. heheh.
kritik saran dan komentarnya ditunggu.. hehehe^^,
--makasihh--


1 komentar:

  1. semangat ters menulissss.....................

    editan blognya bagussss >_< #sorry malah ngomongin editan...

    BalasHapus

Copyright 2009 diary remaja. All rights reserved.
Free WPThemes presented by Leather luggage, Las Vegas Travel coded by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy